Jumat, 24 Agustus 2012

SUDUT PANDANG


Sudut Pandang (SP)

 

Sudut Pandang (SP) merupakan salah satu unsur fiksi yang dapat digolongkan sebagai sarana cerita. Meski begitu unsur ini tidak bisa dianggap remeh.Apa yang Anda lihat dan rasakan ketika menyaksikan sebuah mobil menabrak sepeda motor, tentu akan berbeda dengan yang dilihat dan dirasa oleh si pengendara mobil yang menabrak, atau si pengendara sepeda motor yang menjadi korban tabrakan. Akibat dari peristiwa itu pun akan berbeda bagi anda, si pengendara mobil, dan si pengendara motor. Sebab itu, pemilihan SP tidak saja akan mempengaruhi penyajian cerita, tetapi juga mempangaruhi alur cerita.

 

SP sendiri memiliki pengertian sebagai cara pengarang menempatkan dirinya di dalam cerita. Dengan demikian, SP pada hakikatnya merupakan teknik atau siasat yang sengaja dipilih penulis untuk menyampaikan gagasan dan ceritanya, melalui kaca mata tokoh—atau tokoh-tokoh—dalam ceritanya.

 

Ragam Sudut Pandang

Friedman (dalam Stevick, 1967:118) mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya bisa digunakan untuk membedakan SP. Salah satu pertanyaan itu adalah siapa yang berbicara kepada pembaca (pengarang dalam persona ketiga, atau pertama)? Pembedaan SP yang akan saya kemukakan berikut berdasarkan atas pertanyaan tersebut. Secara garis besar ada dua macam SP, yakni, SP orang pertama dan SP orang ketiga. Hanya kemudian dari keduanya terbentuk variasi-variasai yang memiliki konsekuensi berbeda-beda.

 

1. SP Orang Pertama Tunggal

Pengarang dalam sudut pandang ini menempatkan dirinya sebagai pelaku sekaligus narator dalam ceritanya. Menggunakan kata ganti “Aku” atau “Saya”. Namun begitu, SP ini bisa dibedakan berdasarkan kedudukan “Aku” di dalam cerita itu. Apakah dia sebagai pelaku utama cerita? atau hanya sebagai pelaku tambahan yang menuturkan kisah tokoh lainnya?

 

a. “Aku” tokoh utama

Pengarang menempatkan dirinya sebagai tokoh di dalam cerita yang menjadi pelaku utama. Melalui tokoh “Aku” inilah pengarang mengisahkan kesadaran dirinya sendiri (self consciousness); mengisahkan peristiwa atau tindakan. Pembaca akan menerima cerita sesuai dengan yang diketahui, didengar, dialami, dan dirasakan tokoh “Aku”. Tokoh “Aku” menjadi narator sekaligus pusat penceritaan.

 

Apabila peristiwa-peristiwa di dalam cerita anda terbangun akibat adanya konflik internal (konflik batin) akibat dari pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, atau harapan dari tokoh cerita, SP ini merupakan pilihan yang tepat. Karena anda akan leluasa mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh tokoh cerita anda.

 

    Sambil bermain aku melirik topi lakenku. Kulihat sebuah kursi roda. Duduk di kursi roda itu, seorang tua yang wajahnya tak bisa kulihat dengan jelas karena memakai topi laken seperti aku. Rambutnya gondrong dan sudah memutih seperti diriku, namun ketuaannya bisa kulihat dari tangannya yang begitu kurus dan kulitnya yang sangat keriput. Tangan itulah yang terangkat dan tiba-tiba menggenggam sebuah gitar listrik yang sangat indah.

    (Cerpen Ritchie Blackmore karya Seno Gumira Ajidarma dalam buku Kematian Donny Osmond)

 

 

Perhatikan kata: kulihat pada penggalan cerita di atas. Tokoh “Aku” hanya menyampaikan apa yang terlihat oleh matanya. Begitulah, jika anda memilih SP ini, anda tidak mungkin mengungkapkan perasaan atau pikiran tokoh-tokoh lain, selain tokoh “Aku”.

 

Kebanyakan penulis yang menggunakan SP ini, seringkali terlalu asyik menceritakan (tell) keseluruhan cerita, tanpa berusaha menunjukkan (show) atau memperagakannya. Akibatnya cerita menjadi kurang dramatis. Bahkan bukan tidak mungkin, apabila anda memilih SP ini, anda akan kesulita memperkenalkan tokoh, apakah seorang perempuan atau lelaki. Seno Gumira Ajidarma cukup piawai melukiskan tokoh “Aku” lewat adegan dalam penggalan cerita di atas.

 

Namun, karena cerita dituturkan oleh tokoh “Aku”, anda harus menulis dengan bahasa tokoh “Aku”, sesuai dengan karakter yang telah anda tetapkan. Apabila tokoh anda lebih tua atau lebih muda dari usia anda, akan mempengaruhi bahasa yang bisa anda gunakan. Sebab itu, mengenali dengan baik karakter tokoh anda menjadi sebuah keharusan.

 

b. “Aku” tokoh tambahan

 

Pengarang menempatkan dirinya sebagai pelaku dalam cerita, hanya saja kedudukannya bukan sebagai tokoh utama. Keberadaan “Aku” di dalam cerita hanya sebagai saksi. Dengan demikian, tokoh “Aku” bukanlah pusat pengisahan. Dia hanya bertindak sebagai narator yang menceritakan kisah atau peristiwa yang dialami tokoh lainnya yang menjadi tokoh utama.

 

    Tetangga saya orangnya terkenal baik. Suka menolong orang. Selalu memaafkan. Apa saja yang kita lakukan terhadapnya, ia dapat mengerti dengan hati yang lapang, bijaksana, dan jiwa yang besar. Setiap kali ia mengambil putusan, saya selalu tercengang karena ia dapat melakukan itu dengan kepala yang kering, artinya sama sekali tidak ketetesan emosi. Tidak hanya terhadap persoalan yang menyangkut orang lain, untuk setiap persoalan pribadinya pun ia selalu bertindak sabar dan adil. Banyak orang menganggapnya sebagai orang yang berhati agung.

    (Cerpen Pencuri karya Putu Wijaya dalam buku Protes)

 

 

 

Dalam penggalan cerita karya Putu Wijaya di atas, terlihat tokoh “Saya” mengomentari atau memberikan penilaian pada tokoh utama—tetangganya. SP ini memang mirip dengan SP orang ketiga. Hanya saja narator ikut terlibat di dalam cerita. Sebab itu dia menjadi sangat terbatas, tidak bersifat mahatahu. Sebagai narator, tokoh “Saya” hanya mungkin mengomentari apa yang dilihat dan didengar saja. Narator melalui tokoh “Aku” bisa saja mengungkapkan apa yang dirasakan atau dipikirkan tokoh “Dia”, namun komentar itu hanya berupa dugaan dari tokoh “Aku”. Atau kemungkinan berdasarkan apa yang diamati dari gerak tubuh tokoh “Dia” atau karakter dari tokoh “Dia” yang memang telah diketahui secara umum.

 

2. SP Orang Pertama Jamak

 

Bentuk SP ini sesungguhnya hampir sama dengan SP orang pertama tunggal. Hanya saja menggunakan kata ganti orang pertama jamak, “Kami”. Pengarang dalam sudut pandang ini menjadi seseorang dalam cerita yang bicara mewakili beberapa orang atau sekelompok orang. Perhatikan petikan di bawah ini.

 

    Kami bekerja sebagai juru masak di sebuah restoran continental yang brengsek. Kami sebut restoran ini brengsek, sebab kami diwajibkan memasak sambil menangis. Bayangkan! Kami mengaduk kuah buntut sambil menangis. Kami memasak nasi goreng, merebus aneka pasta, membuat adonan pizza, memotong daging ayam, mengupas kentang, semua itu kami lakukan sambil menangis. Begitulah. Setiap hari selalu ada saja airmata yang meluncur dari sepasang mata kami; mengalir membasahi pipi, dagu, dan menetes ke dalam setiap masakan kami.

    (Cerpen Resep Airmata karya Noor H. Dee dalam buku Sepasang Mata untuk Cinta yang Buta)

 

 

 

Dalam SP ini, pembaca mengikuti semua gerak dan tindakan satu orang atau beberapa orang melalui kaca mata sebuah kelompok. Narator dalam cerita yang berbicara mewakili kelompoknya (“Kami”), tidak pernah mengungkapkan jati dirinya kepada pembaca, seakan-akan dia tidak mempunyai jati diri, selain jati diri kelompoknya. SP orang pertama jamak ini bisa anda pilih, jika anda ingin membuat cerita dengan latar sebuah komunitas kecil seperti sekolah, masjid, keluarga, restoran, dll. Anda bisa memusatkan penceritaan pada seorang tokoh yang memiliki masalah dengan lingkungan sekitarnya. Jika ini yang dipilih, maka “Kami” hanya menjadi tokoh tambahan yang menuturkan konflik yang dialami oleh tokoh utama. Atau justru sekelompok orang itu (“Kami”) yang memiliki masalah dengan lingkungannya, seperti yang bisa kita lihat pada cerpen Resep Airmata, karya Nurhadiansyah. Dengan demikian, “Kami” di dalam cerita sekaligus menjadi tokoh utama, sebagai pusat penceritaan.

 

3. SP Orang Kedua

Pengarang menempatkan dirinya sebagai narator yang sedang berbicara kepada orang lain, menggambarkan apa-apa yang dilakukan oleh orang tersebut. SP ini menggunakan kata ganti orang kedua, “Kau”, “Kamu” atau “Anda” yang menjadi pusat pengisahan dalam cerita.

 

    Kedua lututmu terasa lemas saat kau bersandar pada pemadam api yang baru saja dicat merah, putih, dan biru. Nalurimu ingin berlari mendekati mereka, berteriak, aku juga! Aku juga! Sekarang kau bisa merasakan penyangkalan yang sudah lama sekali kaulakukan; kau ingin berlari dan mengatakan kepadanya tentang kehidupanmu selama tiga puluh satu tahun tanpa dirinya, dan membuatnya berteriak dengan kepastian tanpa dosa: Oh, kau sungguh putri yang cantik!

    (Cerpen Main Street Morning karya Natalie M. Patesch, pengarang cerpen asal Amerika)

 

 

Pada SP ini pembaca seolah-olah diperlakukan sebagai pelaku utama. Pembaca akan merasa seperti seseorang yang tengah membaca kiriman surat dari kerabat atau orang terdekatnya. Sehingga membuat pembaca menjadi merasa dekat dengan cerita, karena seolah-oleh dialah pelaku utama dalam cerita itu.

4. SP Orang Ketiga Tunggal

 

Pengarang menempatkan dirinya sebagai narator yang berada di luar cerita, atau tidak terlibat dalam cerita. Dalam SP ini, narator menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut namanya, atau kata gantinya; “Dia” atau “Ia”

 

SP orang ketiga dapat dibedakan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap cerita. Pada satu pihak, pengarang atau narator dapat bebas mengungkapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “Dia”. Di pihak lain, pengarang atau narator tidak dapat leluasa menguangkapkan segala hal yang berhubungan dengan tokoh “Dia”, atau dengan kata lain hanya bertindak sebagai pengamat.

 

a. SP Orang Ketiga Mahatahu

SP ini sering juga disebut SP ‘mata tuhan’. Sebab dia berlaku seperti ‘tuhan’ terhadap tokoh-tokoh di dalam ceritanya. Pengarang atau narator mengetahui segala hal tentang tokoh-tokohnya, peristiwa, dan tindakan, termasuk motif yang melatarbelakanginya. Dia bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Bahkan, pengarang bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta perasaan tokoh-tokohnya.

 

    “Ya ampun, luar biasa mimpiku ini,” kata Tomas sambil menghela napas, kedua tangannya memegang setir, memikirkan roket, wanita, wiski yang aromanya menyengat, rek kereta api di virginia, dan pesta tersebut.

    Sungguh visi yang aneh, pikir makhluk Mars itu, sambil bergegas membayangkan festival, kanal, perahu, para wanita dengan mata berkilauan bagai emas, dan aneka lagu.

    (Cerpen Agustus 2002: Night Meeting karya Ray Bradbury)

 

Dalam SP ini, pengarang bebas memasuki pikiran dua atau tiga orang dan menunjukkannya pada pembaca. Seperti contoh di atas, pengarang seakan tahu apa yang ada di pikiran Tomas, pada saat yang bersamaan dia juga mengetahui apa yang ada di pikiran makhluk Mars.

 

b. SP Orang Ketiga Terbatas

 

Dalam SP ini, pengarang juga bisa melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikirkan dan dirasakan oleh tokoh ceritanya. Namun hanya terbatas pada satu tokoh, atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas (Stanton, 1965:26). Pengarang tidak leluasa berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Melainkan terikat hanya pada satu atau dua tokoh saja.

 

    Selalu ada cita-cita di dalam benaknya, untuk mabuk dan menyeret kaki di tengah malam, menyusuri Jalan Braga menuju penginapan. Ia akan menikmati bagaimana lampu-lampu jalan berpendar seperti kunang-kunang yang bimbang; garis-garis bangunan pertokoan yang—yang berderet tak putus—acap kali menghilang dari pandangan; dan trotoar pun terasa bergelombang seperti sisa ombak yang menepi ke pantai.

    (Cerpen Lagu Malam Braga karya Kurnia Effendi dalam buku Senapan Cinta)

 

 

Dari contoh di atas, tampak Kurnia Effendi sebagai pengarang masuk ke dalam benak tokoh “Ia” dan menyampaikan isi kepala tokohnya itu kepada pembaca. Hal ini mirip SP orang ketiga mahatahu. Hanya saja terpadas pada satu orang tokoh saja yang merupakan tokoh utama.

 

c. SP Orang Ketiga Objektif

 

Pengarang atau narator dalam SP ini bisa melukiskan semua tindakan tokoh-tokohnya, namun dia tak bisa mengungkapkan apa yang dipikirkan serta dirasakan oleh tokoh-tokohnya. Dia hanya boleh menduga apa yang dipikirkan, atau dirasakan oleh tokoh ceritanya.

 

    Si lelaki tua bangkit dari kursinya, perlahan-lahan menghitung tatakan gelas, mengeluarkan pundi-pundi kulit dari kantungnya dan membayar minumannya dan meninggalkan persenan setengah peseta

    Si pelayan mengikutinya dengan mata ketika si lelaki tua keluar ke jalan, seorang lelaki yang sangat tua yang berjalan terhuyung-huyung tetapi tetap dengan penuh harga diri.

    “Kenapa tak kau biarkan saja dia minum sampai puas?” tanya si pelayan yang tidak tergesa-gesa. Mereka berdua sedang menurunkan semua tirai. “Hari belum lagi jam setengah dua.”

    “Aku ingin cepat pulang dan tidur.”

    ( Cerpen Tempat yang Bersih dan Terang karya Ernest Hemingway dalam buku Salju Kilimanjaro)

Seperti ternampak pada penggalan cerita karya Ernest Hemingway di atas, narator hanya berlaku seperti wartawan yang tengah melaporkan sebuah peristiwa. Posisinya sejajar dengan pembaca. SP ini menuntut ketelitian dalam mencatat dan mendeskripsikan peristiwa, tindakan, latar, samapi ke detil-detil yang terkecil. Narator tak ubahnya sebuah kamera yang merekam dan mengabadikan sebuah objek.

 

5. SP Orang Ketiga Jamak

 

Pengarang menjadi narator yang menuturkan cerita berdasarkan persepsi atau kaca mata kolektif. Narator akan menyebut tokoh-tokohnya dengan menggunakan kata ganti orang ketiga jamak; “Mereka”.

 

    Pada suatu hari, ketika mereka berjalan-jalan dengan Don Vigiliani dan dengan beberapa anak lelaki dari kelompok pemuda, dalam perjalanan pulang, mereka melihat ibu mereka di sebuah kafe di pinggir kota. Dia sedang duduk di dalam kafe itu; mereka melihatnya melalui sebuah jendela dan seorang pria duduk bersamanya. Ibu mereka meletakkan syal tartarnya di atas meja…

    (Cerpen Mother karya Natalia Ginzburg, pengarang asal Italia)

 

 

 

Pada hakikatnya, SP ini mirip dengan SP orang pertama jamak. Pembaca menerima semua gerak dan tindakan satu orang atau beberapa orang melalui kaca mata sebuah kelompok. Perbedaannya ada pada posisi narator yang berada di luar cerita, tidak terlibat dalam cerita yang dituturkannya melalui kaca mata tokoh “Mereka”.

 

6. SP Campuran

 

Sebuah novel mungkin saja menggunakan lebih dari satu ragam SP. Bahkan, belakangan ini, SP campuran tak hanya digunakan dalam novel saja, tetapi juga digunakan di dalam cerpen. Pengarang menempatkan dirinya bergantian dari satu tokoh ke tokoh lainnya dengan SP yang berbeda-beda menggunakan “Aku”, “Kamu”, “Kami”, “Mereka”, atau “Dia”.

 

    Seketika mata Masayu membuka. Lewat pukul sembilan malam ketika lubang pernafasaannya membaui aroma dari daging yang terbakar. Matanya membelalak menyaksikan api merambat cepat. Dia merasakan panas di sekujur tubuhnya.

    ***

    Pernahkah dalam hidupmu, kau merasakan kebencian yang teramat hebat? Sehingga apapun yang ada di kepalamu selalu tentang bagaiman cara melampiaskannya?

    Kami hanya dua gadis lugu yang tak pernah tahu arti membenci. Sebelum perceraian Mami dan Papi menyadarakan kami akan arti memiliki. Kami baru menyadari kalau selama ini kami tak pernah benar-benar memiliki Mami. Mungkin juga begitu yang dirasakan oleh Papi. Sehingga dia lebih memilih berpisah dengan Mami, dari pada hidup bersama tetapi tidak merasa memiliki.

    Namanya Melly. Tubuhnya tak lebih dari dua puluh centi. Bulunya kuning pudar dimakan usia. Hidungnya bulat berwarna cokelat tua. Moncongnya putih gading. Kau pasti menduga kalau Melly seekor binatang piaraan? Hampir tepat. Dia memang menyerupai binatang. Tapi bukan binatang. Karena dia tidak bernyawa. Dia hanya sebuah boneka. Boneka beruang kepunyaan Mami. Tapi meski hanya sebuah boneka beruang, di mata Mami, Melly lebih manusia dari manusia. Sehingga ia harus diperlakukan dengan istimewa. Sampai-sampai Mami lupa kalau dia memiliki dua orang putri berusia 13 dan 10 tahun. Dua orang putri bernama Bening dan Rani—kami—yang lebih butuh perlakuan istimewa darinya.

    (Cerpen Melly karya Denny Prabowo)

 

 

Pada paragraf pertama digunakan sudut pandang “Dia” tokoh Masayu. Pengarang berada di luar cerita. Namun pada paragraf berikutnya pengarang menempatkan dirinya sebagai “Kami” yang berbicara pada “Kau”. Itu berarti, pengarang menjadi pelaku sekaligus narator di dalam ceritanya. Sebagai narator, tokoh “Kami” bertutur tentang tokoh lainnya bernama Melly.

 

Dalam penggunaan SP campuran, dimungkinkan terjadi pergantian pusat penceritaan dari seorang tokoh ke tokoh lainnya. Dengan begitu, pembaca akan memperoleh pandangan terhadap suatu peristiwa atau masalah dari beberapa tokoh.

 

***

Demikianlah pembahasan sederhana mengenai sudut pandang. Dengan mengetahui ragam dari sudut pandang, kamu dapat menggunakannya sebagai teknik penceritaan. Selamat mencoba!

 

TEKNIK


Teknik

 

 

 

Cerpen-cerpen Terbaik "Kompas"

 

Minggu, 28 Juni 2009 | 03:09 WIB

 

Agus Noor

 

Tradisi pemilihan cerpen terbaik Kompas yang sudah berlangsung sejak 1992 telah menghasilkan 15 cerpen terbaik, mulai dari Kado Istimewa (Jujur Prananto) hingga Cinta di Atas Perahu Cadik (Seno Gumira Ajidarma). Hingga tahun 2004, pemilihan cerpen terbaik itu dilakukan oleh ”orang dalam Kompas”, yakni para redaktur yang dianggap punya kompetensi dengan dunia sastra. Mulai 2005, Kompas mencoba mengubah dengan memberikan otoritas pemilihan itu kepada ”orang luar”, yakni mereka yang dianggap memiliki kredibilitas dalam sastra sebagai juri untuk melakukan pemilihan cerpen terbaik itu.

 

Membaca cerpen-cerpen terbaik itu, kita bisa menemukan ”benang merah” yang seolah menandai orientasi estetis dari cerpen-cerpen pilihan Kompas. Ada kecenderungan pada pilihan realisme sebagai gaya bercerita. Bahkan, cerpen Derabat dan Mata yang Indah (keduanya karya Budi Darma) yang terpilh sebagai cerpen terbaik Kompas 1999 dan 2001, yang memiliki kecenderungan sebagai cerita yang surealis pun dituturkan dengan teknik penceritaan yang realis bila ditilik dari penggunaan dan pengolahan gaya bahasanya. Begitu pula Jejak Tanah (Danarto), cerpen terbaik 2002, memakai pola penceritaan realis meski kisah yang diusungnya adalah kisah yang berbau magis.

 

Sementara cerpen yang lebih psikologis, semacam Waktu Nayla (Djenar Mahesa Ayu), cerpen terbaik 2003, mencoba memakai teknik stream of consciousness, untuk mencapai alusi sebagaimana banyak dipakai pada cerita surealis, tetapi masih bisa dikenali sebagai cerita yang realis. Upaya untuk keluar dari stereotip penceritaan realis coba dilakukan Radhar Panca Dahana dalam Sepi Pun Menari di Tepi Hari, cerpen terbaik 2004. Teknik realisme itu terasa lebih subtil dalam cerpen terbaik 2006, Ripin (Ugoran Prasad), terlebih pada caranya menyelesaikan cerita yang mendekati surealis. Selebihnya, cerpen-cerpen terbaik itu adalah cerpen realis secara teknis, bentuk, dan pengolahan bahasanya.

 

Perlu dicatat, realisme dalam cerpen-cerpen terbaik itu bukanlah ”realisme yang tunggal”, melainkan realisme dengan banyak gaya sebagaimana kita banyak menemukan gaya dan bentuk realisme pada cerpen-cerpen Cekov, Kawabata, Maxim Gorky, Guy de Maupassant, O Henry, atau Ignasio Silone. Hal itu setidaknya memperlihatkan: meskipun realisme masih terasa dominan dan kuat dalam cerpen-cerpen kita, pada sisi lain tampak upaya untuk menemukan gaya-gaya penceritaan realisme yang beragam.

 

Maka, kita akan segera menemukan betapa realisme yang dikembangkan Kuntowijoyo dalam Anjing-anjing Menyerbu Kuburan, cerpen terbaik 1997, misalnya, sangat berbeda dengan gaya realisme linear yang dipakai Jujur Prananto dalam Kado Istimewa. Realisme Kuntowijoyo bukanlah realisme yang semata-mata berupaya mengisahkan ”realitas” secara langsung, tetapi juga memasukkan unsur-unsur kepercayaan magis sebagai bagian dari gaya realisme berceritanya. Dengan begitu, realisme bukanlah semata-mata sebuah upaya untuk melihat realitas secara kritis, tetapi juga sebuah cara untuk menceburkan diri dalam realitas. Dengan begitu, kisah tidak terasa disusun dengan satu kesadaran kerangka ploting tertentu, tetapi membiarkannya mengalir untuk menemukan puncak kejutannnya sendiri. Meski, pada tingkat tertentu, realisme Kuntowijoyo juga masih berpretensi untuk menjelaskan realitas (di luar teks) ke dalam konflik dan alur (realitas di dalam teks). Itulah yang membuat realisme Kuntowijoyo terasa kuat dengan tendensi sosiologis dan antropologis. Begitu pun kita bisa merasakan gaya realisme yang berbeda pada Pelajaran Mengarang (Seno Gumira Ajidarma), cerpen terbaik 1992, dengan realisme yang dikembangkan Kuntowijoyo. Pada Pelajaran Mengarang, Seno menempatkan realisme sebagai konkretisasi realitas (suasana bisa terasa dan teraba dalam cerita) melalui pendeskripsian yang detail dan intens, hingga realitas bisa lebih tampak keras dan kuat dalam teks, seolah yang realisme berubah menjadi semacam hiper realisme. Dengan kata lain, realisme bukanlah semata memerikan apa yang nyata, tetapi untuk lebih mempertegas dan mempertajam apa yang ingin kita kenali sebagai yang nyata itu.

 

Pada akhirnya, dalam cerpen-cerpen terbaik Kompas itu, kita merasakan betapa realisme adalah sebuah upaya untuk menemukan pencapaian ”estetis penceritaan” dengan mencoba memformulasikan apa yang disebut kenyataan sosiologis ke dalam kenyataan literer. Pada tingkat ini, sebuah cerita yang baik bukanlah semata-mata bertumpu pada isu atau tema yang diangkatnya, tetapi lebih bagaimana cara seorang pengarang menemukan gaya dan bahasa penceritaannya. Maka, meski memakai jalan realisme sebagai gaya berceritanya, tetap saja sebuah cerita bisa menjadi unggul ketika berhasil menghadirkan dalam dirinya sesuatu yang khas. Kekhasan itu tampak dalam narasi penceritaan

 

Ada satu kekhasan lain yang menjadi kekuatan cerpen-cerpen terbaik Kompas itu, yakni ending ceritanya. Sejak dari Kado Istimewa, kita sudah menemukan bahwa ending menjadi sesuatu yang penting. Kado yang disiapkan Bu Kustiyah untuk perkawinan anak Pak Gi, orang penting yang dikenalnya semasa zaman gerilya, adalah sesuatu yang menautkan hubungan batin Bu Kustiyah dengan pejabat itu. Bagi Bu Kustiyah, kado itu adalah sesuatu yang sangat istimewa, sesuatu yang menyimpan kenangan dan kehangatan persaudaraan. Tetapi, kado berupa tiwul yang disiapkan dengan sepenuh hati oleh Bu Kustiyah itu akhirnya dibuang begitu saja. Kado itu tak sepadan dengan kado lainnya yang berupa cek dan kunci mobil. Ending yang sesungguhnya sudah bisa ditebak sejak pertengahan cerita tetap terasa menampilkan ironi karena kita merasakan bagaimana semua kenangan masa lalu semasa perjuangan tak ada harganya apa pun sekaligus dipersandingkan dengan kontras nilai dan ukuran yang lebih material

 

Pada Pelajaran Mengarang, ending itu terasa lebih kuat menyentak, juga karena ada kontras yang dilukiskan dengan keras. Kita tahu nasib Sandra memang buruk. Kita sudah tahu, macam apa ibu Sandra. Tetapi, kesimpulan Ibu Guru Tati bahwa semua muridnya mengalami masa kanak-kanak yang baik itulah yang menjadi kontras yang kuat dengan kalimat yang ditulis Sandra dalam karangannnya: Ibuku seorang pelacur…. Dalam Lampor (Joni Ariadinata), cerpen terbaik 1994, kontras itu muncul dalam pelukisan watak Tito yang tampak santun seolah ia adalah harapan di tengah karut-marut lingkungan dan keluarga yang brengsek yang hidup di kekumuhan Kali Code. Seperti ada yang diam-diam disembunyikan dalam kesantunan Tito itu, si anak paling baik, yang siap meledak di akhir kisah. Ketika malam-malam yang sumpek oleh birahi, Tito beringsut menghampiri adiknya Rahanah, kita pun ngeri membayangan apa yang terjadi. Dengan open ending, apa yang terjadi itu dibiarkan terhampar dalam imajinasi pembaca.

 

Dalam cerita yang sangat topikal dan kuat dengan isu aktual (yang membuat sebuah cerita bisa terjatuh dalam risalah sosial), seperti Dua Tengkorak Kepala (Motinggo Busye), cerpen terbaik 2000, ending jugalah yang ”menyelamatkan” cerpen ini. Setelah semua informasi soal kekejaman selama Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, tentang sosok Ali yang pergi hingga Libya dan menyebut dirinya sebagai ”putra Kadhafi”, juga sejarah kakek tokoh aku yang mati tertembak tentara Jepang, kontras pada ending-lah yang memunculkan ambiguitas. Apakah tokoh aku memang perlu menuntut gelar pahlawan bagi kakeknya, yang ditembak Jepang? Dan bagaimana dengan Ali yang ditembak tentara sendiri? Pertanyaan itu membawa pada permenungan dan di sanalah ambigutas muncul. Pada Dua Tengkorak Kepala inilah, kita sangat disadarkan, bagaimana pentingnya sebuah ending. Bila saja ending cerpen ini ”gagal”, maka cerpen ini akan terikat pada aktualitas yang temporal dan bisa kehilangan daya gugah setelah semua aktualitas itu lewat.

 

Ambiguitas kepahlawan juga menjadi kekuatan ending pada Anjing-anjing Menyerbu Kuburan. Seorang maling yang mencari kesaktian membongkar kuburan mesti bergelut dengan anjing-anjing yang juga menginginkan bangkai mayat itu. Ketika ia ditemukan terkapar, sebagian penduduk menganggapnya pencuri dan sebagian lagi menganggapnya pahlawan karena telah berhasil mengusir anjing-anjing. Dalam ambiguitas, kita selalu menemukan dua kemungkinan (atau lebih) dalam memandang sebuah persoalan. Dan ending semacam itulah yang banyak dipakai Kuntowijoyo, seperti tampak dalam tiga cerpen lainnnya, Laki-laki yang Kawin dengan Peri (cerpen terbaik 1995), Pistol Perdamaian (1996), Jl Asmaradana (2005) Dengan ending yang ambigu, sebuah cerita sesungguhnya tengah memulai awal penilaian dan penafsiran dalam diri pembaca. Ending semacam itu membuat cerita menjadi sebuah kontradiksi yang tak selesai.

 

Waktu Nayla Djenar Mahesa Ayu dan Ripin Ugoran Prasad menutup cerita dengan lebih surealis, semacam upaya untuk mengambangkan kisah agar ia tetap di ”dunia antara”, di ambang yang realis dan surealis, suatu upaya menciptakan ambiguitas makna pula.

 

Apakah dua hal itu mengupayakan penceritaan yang beragam (meski itu masih berada dalam formulasi realisme) dan ending yang kuat dengan ambiguitas, yang akan membuat sebuah cerpen yang muncul di Kompas menjadi cerpen yang terbaik? Kita tunggu sebentar lagi....

 

Agus Noor, Prosais

 

Untuk Penulis Pemula


Tulisan ini ditujukan pada penulis pemula yang ingin menulis cerita pendek dengan baik. Sesuai namanya, menulis cerita pendek memiliki keunikan tersendiri.

 

Tema

Sebaiknya Anda memiliki tema yang jelas saat menulis cerpen, tentang cerita seperti apa yang ingin Anda tulis. Pesan apa yang ingin Anda sampaikan kepada pembaca. Dengan adanya tema, yang menjadi tulang punggung cerita, maka cerpen Anda akan meninggalkan kesan tersendiri pada pembaca. Penetapan tema dari awal juga berguna agar saat menulis, Anda tidak terlalu jauh melenceng dari cerita sudah ditetapkan.

 

Alur cerita

Fokuslah pada satu alur cerita sesuai dengan tema yang sudah ditetapkan sebelumnya. Karakter tambahan, sejarah, latar belakang, dan detail lainnya sebaiknya memperkuat alur cerita ini. Percabangan alur cerita mutlak harus dihindari.

 

Karakter

Jangan menggunakan jumlah karakter yang terlalu banyak. Semakin banyak karakter bisa membuat cerita Anda menjadi terlalu panjang dan tidak fokus pada tema. Gunakan karakter secukupnya yang sesuai dengan alur cerita.

 

Sepenggal kisah hidup

Namanya saja cerita pendek, sehingga cerpen hanya menceritakan tentang sekelumit kisah dalam hidup karakter yang Anda buat. Jika karakter Anda memiliki kisah hidup yang sangat panjang, tulis hanya sebagai background yang menjadi penguat tema cerita tersebut. Tekankan hanya pada satu bagian dari hidupnya untuk ditulis.

 

Penggunaan kata

Bagaimanapun cerpen memiliki keterbatasan dalam jumlah kata yang bisa dipakai, apalagi cerita super pendek seperti flash fiction. Seringkali majalah atau koran tertentu benar-benar membatasi jumlah kata yang bisa dipakai. Jadi, Anda sebaiknya menggunakan pilihan kata yang efisien dan menghindari menggunakan kalimat deskriptif yang berpanjang-panjang.

 

Impresi

Secara tradisional, cerpen dimulai dengan pengenalan karakter, konflik, dan resolusi. Alternatif lain, adalah Anda dapat membuat impresi pada pembaca justru pada awal cerita, dengan langsung menghadirkan konflik. Karakter Anda sudah berada di dalam kekacauan besar. Hal ini akan membuat pembaca semakin penasaran, ada apa yang terjadi sebenarnya, bagaimana karakter tersebut akan mengatasi persoalannya. Pengenalan karakter, setting, dll dapat dilakukan secara perlahan-lahan di bagian cerita berikutnya.

 

Kejutan

Beri kejutan pada pembaca di akhir cerita. Hindari membuat akhir cerita yang mudah ditebak.

 

Konklusi

Jangan biarkan pembaca meraba-raba dalam gelap pada akhir cerita Anda. Pastikan konklusi di akhir cerita Anda memuaskan, tetapi juga tidak mudah ditebak. Pembaca perlu dibuat berkesan pada akhir cerita, tentang apa yang terjadi pada karakter tersebut. Akhir cerita yang mengesankan akan selalu diingat oleh pembaca, bahkan setelah lama mereka selesai membaca cerita tersebut.

 

oleh Didik Wijaya - Penerbit Escaeva

__________________

Inilah Blogku terus ada informasi beasiswa dan lomba

 

 

BEBERAPA HAL KUNCI DALAM MENULIS CERPEN

Peristiwa, Tokoh, Konflik

Narasi adalah cerita. Cerita didasarkan pada urutan kejadian atau peristiwa. Dalam kejadian-kejadian tersebut terdapat tokoh. Tokoh-tokoh tersebut menghadapi serangkaian konflik atau pertikaian. Tiga hal tersebutlah (urutan peristiwa, tokoh, dan konflik) yang merupakan unsur pokok sebuh narasi. Kesatuan dari urutan peristiwa, tokoh, dan konflik itulah yang sering disebut alur atau plot. arasi bisa berupa fakta, bisa pula berupa fiksi atau rekaan. Narasi yang berisi fakta antara lain biografi (riwayat hidup seseorang), otobiografi (riwayat hidup seseorang yang ditulisnya sendiri. Narasi yang berisi fiksi atau rekaan antara lain novel, cerita pendek, cerita bersambung, atau cerita bergambar. Plot atau alur dalam sebua narasi dapat berupa alur tunggal, dapat pula terdiri dari alur utama dan beberapa buah alur tambahan atau sub-plot. 

Latar dan Warna Lokal

Alur cerita (kejadian, konflik, dan tokoh) tentu saja tidak terjadi dari kekosongan (vacuum). Pasti peristira tersebut terjadi pada waktu tertentu dan di tempat tertentu. Maka alur terikat pada latar waktu dan latar tempat. Latar tempat dan latar waktu membutuhkan kekhususan dan ketajaman deskripsi yang menunjukkan pada pembaca bahwa waktu dan tempat kejadian tersebut benar-bena khas sehingga cerita tidak daat dipindahkan secara sembarangan karena kekhasan tersebut memberikan nilai tertentu. Inilah yang disebut sebagai warna lokal dalam cerita. Warna lokal ini diciptakan dengan memberikan deskripsi yang teliti tentang lokasi, benda-benda, tokoh-tokoh serta kebiasaan-kebiasaan setempat, dialog tokoh-tokohnya yang mengandung dialek-dialek tertentu 

Kerangka (Kisi-kisi Alur)

Kerangka atau kisi-kisi alur sangat penting untuk dibuat sebelum kita menulis cerpen. Kisi-kisi alur ini digunakan untk menjaga agar dalam cerita yang akan kita buat tidak terjadi anakronisme, yaitu peristiwa yang salah waktu dan tempatnya. Di samping itu, kisi-kisi ini juga berguna untuk mempertahankan cerita agar dalam pengembangannya cerita tetap terfokus pada konflik yang direncanakan, tidak melantur ke mana-mana. 

Posisi ”Kita”

Dalam sebuah narase tentu saja ada yang bercerita, yang menceritakan kepada kita apa saja yang terjadi. De fakto yang bercerita adalah penulis cerita itu. Penulis cerita dalam bercerita dapat mengambil posisi sebagai orang di luar cerita yang menceritakan segala sesuatu yang dilihat dan didengarnya. Atau, bisa pula penulis mengambil posisi seolah-olah ia berada di dalam cerita tersebut. Ia ikut menjadi salahsatu tokoh dalam cerita yang dibuatnya itu.Pengambilan posisi diri ini sangat mempengaruhi cerita yang akan dibuatnya. Maka, diperlukan pertimbangan matang untuk memilih gaya pertama, atau gaya kedua sehingga nantinya terdapat konsistensi dalam bercerita. 

Percakapan (Dialog)

Sebenarnya tidak ada aturan baku yang mengatur seberapa besar porsi dialog dalam sebuah cerita. Artinya, boleh saja sebuah cerpen sejak awal sampai akhir isinya dialog antartokoh. Porsi deskripsi latar dan peristiwanya dibuat seminimal mungkin. Namun, boleh juga sebuah cerpen hanya terdiri dari deskripsi semua, tidak ada dialog sama sekali.Hanya, rasa-rasanya akan menjadi cerpen yang tidak enak dibaca ketika tidak terdapat keseimbangan antara dialog dalam latar peristiwa.

Untuk menulis sebuah cerpen


Untuk menulils sebuah cerpen, ilham itu dikupas sedemikian rupa dan memadukannya dengan imajinasi, serta menuangkannya dalam bentuk tulis. Adapun langkah-langkahnya adalah:

 

· Menemukan ide dalam sebuah tema;

· Menyusun alur cerita sebagai kerangka karangan;

· Mengumpulkan kosa kata dan gaya bahasa;

· Mengembangkan alur cerita menjadi karangan utuh.

 

Di samping itu penulis tentu merancang unsur-unsur cerita sesuai dengan komponen-komponen sastra yang lazim terdapat dalam karya sastra prosa jenis fiksi, yaitu:

 

· Tema; berisi tentang tema apa yang akan mendarahi cerita

· Plot/alur; bagaimana susunan peristiwanya?

· Penokohan; berapa tokoh yang masuk dalam cerita, siapa tokoh utamanya?

· Latar; kapan, dimana, bagaimana peristiwa itu terjadi?

· Konflik; apa yang menjadi konflik permasalahan?

· Pesan/amanat; apakah amanat yang disampaikan kepada pembaca?

Apabila Anda sudah memahami semua itu, maka akan dengan mudah karya Anda terwujud.