Teknik
Cerpen-cerpen Terbaik
"Kompas"
Minggu, 28 Juni 2009 |
03:09 WIB
Agus Noor
Tradisi pemilihan cerpen
terbaik Kompas yang sudah berlangsung sejak 1992 telah menghasilkan 15 cerpen
terbaik, mulai dari Kado Istimewa (Jujur Prananto) hingga Cinta di Atas Perahu
Cadik (Seno Gumira Ajidarma). Hingga tahun 2004, pemilihan cerpen terbaik itu
dilakukan oleh ”orang dalam Kompas”, yakni para redaktur yang dianggap punya
kompetensi dengan dunia sastra. Mulai 2005, Kompas mencoba mengubah dengan
memberikan otoritas pemilihan itu kepada ”orang luar”, yakni mereka yang
dianggap memiliki kredibilitas dalam sastra sebagai juri untuk melakukan
pemilihan cerpen terbaik itu.
Membaca cerpen-cerpen
terbaik itu, kita bisa menemukan ”benang merah” yang seolah menandai orientasi
estetis dari cerpen-cerpen pilihan Kompas. Ada kecenderungan pada pilihan realisme
sebagai gaya bercerita. Bahkan, cerpen Derabat dan Mata yang Indah (keduanya
karya Budi Darma) yang terpilh sebagai cerpen terbaik Kompas 1999 dan 2001,
yang memiliki kecenderungan sebagai cerita yang surealis pun dituturkan dengan
teknik penceritaan yang realis bila ditilik dari penggunaan dan pengolahan gaya
bahasanya. Begitu pula Jejak Tanah (Danarto), cerpen terbaik 2002, memakai pola
penceritaan realis meski kisah yang diusungnya adalah kisah yang berbau magis.
Sementara cerpen yang lebih
psikologis, semacam Waktu Nayla (Djenar Mahesa Ayu), cerpen terbaik 2003,
mencoba memakai teknik stream of consciousness, untuk mencapai alusi
sebagaimana banyak dipakai pada cerita surealis, tetapi masih bisa dikenali
sebagai cerita yang realis. Upaya untuk keluar dari stereotip penceritaan
realis coba dilakukan Radhar Panca Dahana dalam Sepi Pun Menari di Tepi Hari,
cerpen terbaik 2004. Teknik realisme itu terasa lebih subtil dalam cerpen
terbaik 2006, Ripin (Ugoran Prasad), terlebih pada caranya menyelesaikan cerita
yang mendekati surealis. Selebihnya, cerpen-cerpen terbaik itu adalah cerpen
realis secara teknis, bentuk, dan pengolahan bahasanya.
Perlu dicatat, realisme
dalam cerpen-cerpen terbaik itu bukanlah ”realisme yang tunggal”, melainkan
realisme dengan banyak gaya sebagaimana kita banyak menemukan gaya dan bentuk
realisme pada cerpen-cerpen Cekov, Kawabata, Maxim Gorky, Guy de Maupassant, O
Henry, atau Ignasio Silone. Hal itu setidaknya memperlihatkan: meskipun
realisme masih terasa dominan dan kuat dalam cerpen-cerpen kita, pada sisi lain
tampak upaya untuk menemukan gaya-gaya penceritaan realisme yang beragam.
Maka, kita akan segera
menemukan betapa realisme yang dikembangkan Kuntowijoyo dalam Anjing-anjing
Menyerbu Kuburan, cerpen terbaik 1997, misalnya, sangat berbeda dengan gaya
realisme linear yang dipakai Jujur Prananto dalam Kado Istimewa. Realisme
Kuntowijoyo bukanlah realisme yang semata-mata berupaya mengisahkan ”realitas”
secara langsung, tetapi juga memasukkan unsur-unsur kepercayaan magis sebagai
bagian dari gaya realisme berceritanya. Dengan begitu, realisme bukanlah
semata-mata sebuah upaya untuk melihat realitas secara kritis, tetapi juga
sebuah cara untuk menceburkan diri dalam realitas. Dengan begitu, kisah tidak
terasa disusun dengan satu kesadaran kerangka ploting tertentu, tetapi
membiarkannya mengalir untuk menemukan puncak kejutannnya sendiri. Meski, pada
tingkat tertentu, realisme Kuntowijoyo juga masih berpretensi untuk menjelaskan
realitas (di luar teks) ke dalam konflik dan alur (realitas di dalam teks).
Itulah yang membuat realisme Kuntowijoyo terasa kuat dengan tendensi sosiologis
dan antropologis. Begitu pun kita bisa merasakan gaya realisme yang berbeda
pada Pelajaran Mengarang (Seno Gumira Ajidarma), cerpen terbaik 1992, dengan
realisme yang dikembangkan Kuntowijoyo. Pada Pelajaran Mengarang, Seno
menempatkan realisme sebagai konkretisasi realitas (suasana bisa terasa dan
teraba dalam cerita) melalui pendeskripsian yang detail dan intens, hingga
realitas bisa lebih tampak keras dan kuat dalam teks, seolah yang realisme
berubah menjadi semacam hiper realisme. Dengan kata lain, realisme bukanlah
semata memerikan apa yang nyata, tetapi untuk lebih mempertegas dan mempertajam
apa yang ingin kita kenali sebagai yang nyata itu.
Pada akhirnya, dalam
cerpen-cerpen terbaik Kompas itu, kita merasakan betapa realisme adalah sebuah
upaya untuk menemukan pencapaian ”estetis penceritaan” dengan mencoba
memformulasikan apa yang disebut kenyataan sosiologis ke dalam kenyataan
literer. Pada tingkat ini, sebuah cerita yang baik bukanlah semata-mata
bertumpu pada isu atau tema yang diangkatnya, tetapi lebih bagaimana cara
seorang pengarang menemukan gaya dan bahasa penceritaannya. Maka, meski memakai
jalan realisme sebagai gaya berceritanya, tetap saja sebuah cerita bisa menjadi
unggul ketika berhasil menghadirkan dalam dirinya sesuatu yang khas. Kekhasan
itu tampak dalam narasi penceritaan
Ada satu kekhasan lain yang
menjadi kekuatan cerpen-cerpen terbaik Kompas itu, yakni ending ceritanya.
Sejak dari Kado Istimewa, kita sudah menemukan bahwa ending menjadi sesuatu
yang penting. Kado yang disiapkan Bu Kustiyah untuk perkawinan anak Pak Gi,
orang penting yang dikenalnya semasa zaman gerilya, adalah sesuatu yang
menautkan hubungan batin Bu Kustiyah dengan pejabat itu. Bagi Bu Kustiyah, kado
itu adalah sesuatu yang sangat istimewa, sesuatu yang menyimpan kenangan dan
kehangatan persaudaraan. Tetapi, kado berupa tiwul yang disiapkan dengan
sepenuh hati oleh Bu Kustiyah itu akhirnya dibuang begitu saja. Kado itu tak
sepadan dengan kado lainnya yang berupa cek dan kunci mobil. Ending yang
sesungguhnya sudah bisa ditebak sejak pertengahan cerita tetap terasa
menampilkan ironi karena kita merasakan bagaimana semua kenangan masa lalu
semasa perjuangan tak ada harganya apa pun sekaligus dipersandingkan dengan
kontras nilai dan ukuran yang lebih material
Pada Pelajaran Mengarang,
ending itu terasa lebih kuat menyentak, juga karena ada kontras yang dilukiskan
dengan keras. Kita tahu nasib Sandra memang buruk. Kita sudah tahu, macam apa
ibu Sandra. Tetapi, kesimpulan Ibu Guru Tati bahwa semua muridnya mengalami
masa kanak-kanak yang baik itulah yang menjadi kontras yang kuat dengan kalimat
yang ditulis Sandra dalam karangannnya: Ibuku seorang pelacur…. Dalam Lampor
(Joni Ariadinata), cerpen terbaik 1994, kontras itu muncul dalam pelukisan
watak Tito yang tampak santun seolah ia adalah harapan di tengah karut-marut
lingkungan dan keluarga yang brengsek yang hidup di kekumuhan Kali Code.
Seperti ada yang diam-diam disembunyikan dalam kesantunan Tito itu, si anak
paling baik, yang siap meledak di akhir kisah. Ketika malam-malam yang sumpek
oleh birahi, Tito beringsut menghampiri adiknya Rahanah, kita pun ngeri
membayangan apa yang terjadi. Dengan open ending, apa yang terjadi itu
dibiarkan terhampar dalam imajinasi pembaca.
Dalam cerita yang sangat
topikal dan kuat dengan isu aktual (yang membuat sebuah cerita bisa terjatuh
dalam risalah sosial), seperti Dua Tengkorak Kepala (Motinggo Busye), cerpen
terbaik 2000, ending jugalah yang ”menyelamatkan” cerpen ini. Setelah semua
informasi soal kekejaman selama Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, tentang
sosok Ali yang pergi hingga Libya dan menyebut dirinya sebagai ”putra Kadhafi”,
juga sejarah kakek tokoh aku yang mati tertembak tentara Jepang, kontras pada
ending-lah yang memunculkan ambiguitas. Apakah tokoh aku memang perlu menuntut
gelar pahlawan bagi kakeknya, yang ditembak Jepang? Dan bagaimana dengan Ali
yang ditembak tentara sendiri? Pertanyaan itu membawa pada permenungan dan di
sanalah ambigutas muncul. Pada Dua Tengkorak Kepala inilah, kita sangat
disadarkan, bagaimana pentingnya sebuah ending. Bila saja ending cerpen ini
”gagal”, maka cerpen ini akan terikat pada aktualitas yang temporal dan bisa
kehilangan daya gugah setelah semua aktualitas itu lewat.
Ambiguitas kepahlawan juga
menjadi kekuatan ending pada Anjing-anjing Menyerbu Kuburan. Seorang maling
yang mencari kesaktian membongkar kuburan mesti bergelut dengan anjing-anjing
yang juga menginginkan bangkai mayat itu. Ketika ia ditemukan terkapar,
sebagian penduduk menganggapnya pencuri dan sebagian lagi menganggapnya
pahlawan karena telah berhasil mengusir anjing-anjing. Dalam ambiguitas, kita
selalu menemukan dua kemungkinan (atau lebih) dalam memandang sebuah persoalan.
Dan ending semacam itulah yang banyak dipakai Kuntowijoyo, seperti tampak dalam
tiga cerpen lainnnya, Laki-laki yang Kawin dengan Peri (cerpen terbaik 1995),
Pistol Perdamaian (1996), Jl Asmaradana (2005) Dengan ending yang ambigu,
sebuah cerita sesungguhnya tengah memulai awal penilaian dan penafsiran dalam
diri pembaca. Ending semacam itu membuat cerita menjadi sebuah kontradiksi yang
tak selesai.
Waktu Nayla Djenar Mahesa
Ayu dan Ripin Ugoran Prasad menutup cerita dengan lebih surealis, semacam upaya
untuk mengambangkan kisah agar ia tetap di ”dunia antara”, di ambang yang
realis dan surealis, suatu upaya menciptakan ambiguitas makna pula.
Apakah dua hal itu
mengupayakan penceritaan yang beragam (meski itu masih berada dalam formulasi
realisme) dan ending yang kuat dengan ambiguitas, yang akan membuat sebuah
cerpen yang muncul di Kompas menjadi cerpen yang terbaik? Kita tunggu sebentar
lagi....
Agus Noor, Prosais
Tidak ada komentar:
Posting Komentar